Makna Rabb
Segala puji hanya milik Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah tercinta, Muhammad bin Abdullah, segenap keluarga, para sahabat dan umatnya yang setia.
Apabila kita bertanya kepada seseorang…siapa Rabb-mu?
Barangkali orang tersebut akan menjawab..Allah Rabb-ku…
Namun masalahnya, orang-orang seringkali dalam kehidupannya menjadikan Rabb lain selain Allah. Tidak sekedar itu saja, penghambaannya & ketaatannya kepada Rabb selain Allah jauh lebih tinggi daripada penghambaannya & ketaatannya kepada Allah. Padahal menjadikan ada Rabb lain selain Allah adalah kemusyrikan. Ini yang ingin kita bahas.
Penggunaan kata Rabb memang biasa diterjemahkan sebagai Tuhan. Ini tidak salah. Namun kata Rabb bisa juga diterjemahkan sebagai :
(1) Tuan besar, majikan, pemimpin yang bagaikan as sebuah motor yang padanya tergantung gerakan motor itu.
(2) Ketua yang diakui kekuasaannya, berwibawa dan yang semua perintah-perintahnya dipatuhi dan diendahkan.
Berikut adalah contoh penggunaan kata “Rabb” di dalam hadits
Telah menceritakan kepada kami dari Shuhaib bahwa Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Dulu sebelum kalian ada seorang raja, ia memiliki tukang sihir, saat tukang sihir sudah tua, ia berkata kepada rajanya: Aku sudah tua dan ajalku sudah tiba, serahkan seorang pemuda kepadaku untuk aku ajari sihir. Lalu seorang pemuda diserahkan padanya, ia mengajarkan sihir kepada pemuda itu. (Jarak) antara tukang sihir dan si raja terdapat seorang rahib.
Si pemuda itu mendatangi rahib dan mendengar kata-katanya, ia kagum akan kata-kata si rahib itu sehingga bila datang ke si penyihir pasti dipukul, ia bertanya: Apa yang menahanmu? Dan bila ia mendatangi keluarganya, mereka pasti memukulinya, mereka bertanya: Apa yang menahamu? Pemuda itu mengeluhkan hal itu kepada si rahib, ia berkata: Bila tukang sihir hendak memukulmu, katakan: Keluargaku menahanku, dan bila keluargamu hendak memukulmu, katakan: Si tukang sihir menahanku.
Saat seperti itu, pada suatu hari ia mendekati sebuah hewan yang besar yang menghalangi jalanan orang, ia mengambil batu lalu berkata: Ya Allah, bila urusan si rahib lebih Engkau sukai dan membuatmu senang dari pada tukang sihir itu maka bunuhlah binatang ini hingga orang bisa lewat. Ia melemparkan batu itu dan membunuhnya, orang-orang pun bisa lewat. Ia memberitahukan hal itu kepada si rahib.
Si rahib berkata: Pemudaku, engkau lebih baik dariku dan engkau akan mendapat ujian, bila kau mendapat ujian jangan menunjukku. Si pemuda itu bisa menyembuhkan orang buta dan berbagai penyakit. Salah seorang teman raja buta lalu ia mendengarnya, ia mendatangi pemuda itu dengan membawa hadiah yang banyak, ia berkata: Sembuhkan aku dan kau akan mendapatkan yang aku kumpulkan disini. Pemuda itu berkata: Aku tidak menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah 'azza wajalla, bila kau beriman padanya, aku akan berdoa kepadaNya agar menyembuhkanmu. Teman si raja itu pun beriman lalu si pemuda itu berdoa kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala lalu ia pun sembuh.
Teman raja itu kemudian mendatangi raja lalu duduk didekatnya. Si raja berkata: Hai fulan, siapa yang menyembuhkan matamu? Orang itu menjawab:Rabbku. Si raja berkata: Aku? Orang itu berkata: Bukan, tapi Rabbku dan Rabbmu adalah Allah. Si raja berkata: Apa kau punya Rabb selainku? Ia menjawab: Ya…dst… .(HR. Ahmad )
Perhatikan lagi dialog di atas :
"... siapa yang menyembuhkan matamu? Orang itu menjawab: Rabbku. Si raja berkata: Aku? Orang itu berkata: Bukan, tapi Rabbku dan Rabbmu adalah Allah. Si raja berkata: Apa kau punya Rabb selainku? Ia menjawab: Ya…dst…"
Jelaslah bahwa makna Rabb itu bisa berarti penguasa, sebagaimana yang dikira oleh sang Raja di atas, sedangkan temannya bermaksud menjelaskan bahwa ada penguasa lain yang jauh lebih tinggi dibanding kekuasaan Raja tersebut di atas, yaitu Allah SWT...
Sebagaimana Fir’aun menjadikan dirinya sebagai Rabb(penguasa) selain Allah.
Menjadikan manusia sebagai Rabb selain AllahSubhanahu Wa Ta’ala adalah kemusyrikan. Sebagaimana orang Nasrani menjadikan alim-ulama dan pendeta-pendeta mereka sebagai Rabb selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Sebagaimana orang-orang yang memeluk dien (agama) demokrasi menjadikan orang-orang pembuat hukum sebagai Rabb selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
AYAT-AYAT YANG MENGANDUNG MAKNA (2) DAN SEBAGIAN DARI MAKNA (1)
اِتَّخَ ُ ذوْا َأحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ َأرْبَابًا مِّن دُونِ الّلهِ
Ittakhathu ahbarahum waruhbanahum arbaban min duuni Allahi
Mereka angkat para alim-ulama dan pendeta-pendeta mereka sebagai (arbaban) Rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah... QS.9:31.
وَ َ لا يَتَّخِ َ ذ بَعْضُنَا بَعْضًا َأرْبَابًا مِّن دُونِ الّلهِ
Dan kita tidak saling menjadikan Rabb-rabb selain Allah. QS.3:64.
Adapun yang dimaksud dari kata Arbaban, kata majemuk dari Rabb pada dua ayat tersebut ialah, semua pemimpin, baik pemimpin agama, ormas dan orpol, mahupun pemimpin lainnya, yang mengeluarkan aturan atau rencana yang lalu ditaati dan dilaksanakan oleh bawahan mereka, sekalipun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah. Malah dianggap biasa.
(*) Ketika ayat ini dibacakan dihadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim, asalnya beliau ini Nasrani sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nasrani. Dan ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim berpikir: Kami (maksudnya: dia dan orang-orang Nasrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah dst. Jadi dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya apa kemusyrikan yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama ?
Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bukankah orang – orang alim dan para rahib kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya?, bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya !”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang nasrani) terhadap mereka”
Lengkapnya adalah sbb:
Mengenai penafsiran ayat ini, at-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, bahwa dia berkata: “Ya Rasulullah, mereka itu tidak menyembah mereka (orang-orang alim dan para rahib).” Maka beliauShallallahu Alaihi Wa Sallam pun menjawab: “Tidak demikian, sesungguhnya orang – orang alim dan para rahib menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal bagi mereka, lalu mereka mengikuti orang – orang alim dan para rahib itu, maka yang demikian itu merupakan penyembahan kepada orang-orang alim dan para rahib tersebut. (Sumber : Tafsir Ibnu Katsir)
Kembali ke pembahasan mengenai rabb, dalam bahasa Indonesia makna rabb sudah berbeda dengan makna aslinya. Dalam bahasa Indonesia, rabbmaknanya seringkali sudah dikhususkan untuk Tuhan. Padahal dalam bahasa aslinya, rabb maknanya itu luas, tidak khusus ditujukan kepada Tuhan atau Allah. Secara sederhana rabb maksudnya adalah penguasa atau pemimpin tertinggi yang disegani dan dipatuhi. Maka dalam konteks sekarang, bisa saja ia adalah presiden anda, atau raja, atau bahkan boss / manajer anda.
Contoh penggunaan kata “rabb” yang tidak diterjemahkan / diartikan sebagai “Tuhan”:
Percakapan Nabi Yusuf a.s. di Mesir
َأمَّا َأحَدُ ُ كمَا َفيَسْقِي رَبَّهُ خَمْرًا
Adapun salah seorang di antara kamu berdua, akan kembali melayani *rabb*nya (tuan/majikannya) dengan minuman keras. QS.12:41.
وََقا َ ل لِلَّذِي ظَنَّ َأنَّهُ نَاجٍ مِّنْهُمَا ا ْ ذ ُ كرْنِي عِندَ رَبِّكَ َفَأنسَاهُ الشَّيْ َ طا ُ ن ذِكْرَ رَبِّهِ
Dan (Yusuf) berkata kepada orang yang sudah diyakini akan bebas itu:
Terangkanlah keadaanku kepada rabb (tuan)mu. Tetapi syaitan menjadikannya lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada rabb (tuan)nya. QS.l2 :42.
َفَلمَّا جَاءهُ الرَّسُو ُ ل َقا َ ل ارْجِعْ إَِلى رَبِّكَ َفاسَْأْلهُ مَا بَا ُ ل النِّسْوَةِ اللاَّتِي َقطَّعْنَ َأيْدِيَهُنَّ إِنَّ
رَبِّي بِ َ كيْدِهِنَّ عَلِيمٌ
Tatkala utusan itu datang kepadanya (Yusuf), berkatalah ia (Yusuf):
Kembalilah kepada rabb (tuan)mu dan tanyakanlah padanya bagaimana halnya dengan wanita-wanita yang telah melukai (jari) tangan-tangan mereka. Sesungguhnya Rabb (Tuhan)ku, Maha Mengetahui tipu-daya mereka. QS.12:50.
Yusuf a.s. memberikan prediket rabb itu kepada raja dan penguasa atau majikan-majikan di Mesir. Orang-orang Mesir pada waktu itu, menganggap setiap raja, maupun pejabat dan penguasa ataupun majikan, sebagai pemilik dan berkuasa mutlak keatas mereka.
Mereka dapat menyuruh dan melarang dalam segala hal tanpa boleh dibantah. Dengan demikian mereka dianggap sebagai rabb-rabb. Tetapi sebaliknya, Nabi Yusuf tidak bermaksud dari kata Rabbi (Tuhanku) selain Allah s.w.t. Kerana, mutlaklah kekuasaanNya.
Demikian juga yang dimaksud dengan Fir’aun. Ia menganggap dirinya adalah penguasa tertinggi, pemimpin tertinggi bangsa Mesir. Karena bila ia mengakui Musa a.s sebagai utusan dari Rabb yanghaq, maka otomatis kekuasaannya menjadi tidak berarti, menjadi terbatas karena diganti dengan syariat-syariat dari Allah melalui Musa a.s.
wallahu a'lam
Dikutip dari:wirawan smg
No comments:
Post a Comment